Kecenderungan orang tua untuk memasukan anak sedini mungkin di sekolah formal (SD) sudah sangat mewabah di daerah perkotaan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan tersebut memang patut diacungi jempol. Namun ternyata kesadaran tersebut juga menuai dampak negatif ketika tidak dibarengi dengan pemahaman pentingnya untuk memperhatikan usia kematangan anak dalam belajar.
Hal ini penting sekali disadari oleh orang tua, karena kurikulum nasional pada saat ini sudah jauh berbeda dari kurikulum saat kita masih kecil dahulu. Saat ini bobot pelajaran semakin berat dan padat, sehingga perlu dipikirkan kembali untuk membawa anak yang masih terlalu mudah di Sekolah Dasar. Hal yang sangat dikhawatirkan adalah bahwa anak akan merasakan kehilangan waktu bermain yang seharusnya mereka nikmati dan digantikan dengan segudang kesibukan untuk belajar bahkan les - les tambahan untuk mengejar pelajaran.
Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, setiap warga
negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni
sekolah dasar (atau sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama
(atau sederajat) 3 tahun.
Ketika otonomi daerah mulai diberlakukan (2001), urusan
pendidikan dasar berada di bawah dinas pendidikan masing-masing daerah.
Usia masuk SD diutamakan 7 tahun, bila kapasitas sekolah masih
mencukupi, sekolah bisa menerima murid yang berusia 6 tahun dengan
prioritas usia mendekati 7 tahun.
Memang dasar penetapan usia tujuh tahun itu sudah
melalui penelitian panjang sebelumnya. Namun setidaknya ada kelonggaran
yang mesti diberikan pemerintah terutama untuk anak-anak tertentu yang
dianggap pantas untuk masuk SD lebih awal.
Anak-anak di bawah tujuh tahun yang memiliki kemampuan
di atas-rata tentu tidak banyak. Menurut Prof Dr. S.C . Utami Munandar,
guru besar psikologi anak Universitas Indonesia, jumlah anak berbakat
di Indonesia sekitar 2-5% dari keseluruhan anak (episentrum.com/artikel-psikologi). Artinya, peluang itu diberikan kepada anak yang jumlahnya sedikit itu.
Menurut Utami lagi, tidak semua anak punya perkembangan
intelektual yang ‘normal’ atau rata-rata. Ada anak ‘gifted’ atau
‘talented’ -yaitu dikaruniai kecerdasan atau bakat luar biasa- yang
tingkat intelektualitasnya jauh melampuai anak-anak lain seusianya.
Selain itu ia juga telah siap mental untuk masuk SD. Agaknya yang lebih
penting sebenarnya kesiapan umur mental dan intelektual si anak, bukan
umur kalendernya. Namun, hal ini tidak dengan mudah diputuskan begitu saja, untuk membuktikan bahwa kesiapan anak yang dapat dianggap layak untuk masuk SD lebih awal tersebut harus dibuktikan melalui test EQ dan IQ, sehingga hal ini juga tidak akan merugikan Si Anak.
Bukankah sebenarnya pendidikan adalah demi kepentingan anak, sehingga marilah kita mengikuti pola yang seharusnya.
No comments:
Post a Comment